BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam sejarah
Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah menjadi kebijakan resmi
pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik progresif. Itu terjadi pada
masa pemerintahan Bung Karno di akhir tahun 1957. Kebijakan nasionalisasi
ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan mengembalikan Irian Barat
dari tangan Belanda ke pangkuan Republik Indonesia (RI) melalui jalur
diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja bundar (KMB) 1949. Pemerintahan
Bung Karno memutuskan untuk menghadapi Belanda dengan
cara frontal, yakni membatalkan perjanjian KMB secara sepihak. Maka, di
tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan
Belanda secara unilateral.
Akhirnya, pemerintah
Bung Karno pun merespon keinginan massa rakyat tersebut. Hasil
rapat Kabinet Djuanda pada 28 November 1957 menghasilkan beberapa
keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah memutuskan
untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan Belanda.
Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka dibawah
pimpinan Bung Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat progresif
yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi Belanda.
Hal-hal semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika
Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia, mereka
tidak suka dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan
Sukarno dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi penjilat
telapak kaki Negara Paman Sam.
Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain
Amerika, planing yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika
Indonesia berubah menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet
musuh besar Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis
akan menjadi sandungan besar bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang
Amerika pilih.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat
dibuar beberapa rumusan maslah yaitu :
1.2.1
Apakah latar belakang
keterlibatan Amerika Serikat di Indonesia ?
1.2.2
Bagaimana keterlibatan
Amerika Serikat di Indonesia ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui latar
belakang keterlibatan Amerika Serikat di Indonesia
1.3.2
Untuk mengetahui
keterlibatan Amerika Serikat di Indonesia
BAB
2. PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Keterlibatan Amerika Serikat di Indonesia
Dalam sejarah Republik ini, nasionalisasi perusahaan asing pernah
menjadi kebijakan resmi pemerintah, yang didukung oleh kekuatan politik
progresif. Itu terjadi pada masa pemerintahan Bung Karno di akhir tahun 1957.
Kebijakan nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’
perjuangan mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik
Indonesia (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja
bundar (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno memutuskan untuk
menghadapi Belanda dengan cara frontal, yakni membatalkan
perjanjian KMB secara sepihak. Maka, di tahun 1956, kabinet Ali Sastroamidjojo
II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara unilateral.
Organ-organ yang terkait dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan
lainya, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan KBM
(Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi massa
menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya,
sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang belum
terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.
Akhirnya, pemerintah Bung Karno pun merespon keinginan
massa rakyat tersebut. Hasil rapat Kabinet Djuanda pada 28 November
1957 menghasilkan beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara
lain: pemerintah memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan
beberapa perusahaan Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan
Indonesia merdeka dibawah pimpinan Bung Karno dan Djuanda dengan
gerakan-gerakan rakyat progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri
kekuasaan ekonomi Belanda.
Hal-hal semacam inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat
menjadi gerah dan gemes terhadap presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka
dan dengan planning tertentu berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno
dengan orang lain yang tentunya memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki
Negara Paman Sam.
Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain Amerika, planing
yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika Indonesia berubah
menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet musuh besar
Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis akan menjadi
sandungan besar bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang Amerika pilih.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri
ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah
Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai
cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung
berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina
kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley),
mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat
PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan
sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai
hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil
disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara defacto, Jenderal
Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan awal 1966,
Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai mungkin jumlahnya
mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yang dituduh
kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yangfair.
Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi
kejahatan rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan
penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai
"Hadiah terbesar dari Asia Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang
sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan
sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan
‘sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim
ekonom pro-AS menemui para'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi
Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern UniversityAS menelusuri fakta
sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters diangkat sebagai
promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalamThe New Rulers
of The World, mengutip Sampson dan menulis:
"Dalam
bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar' (istilah
pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh
Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation
mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari
membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para
pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia,
orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya."
Di seberang
meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha
Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.
"Di
Jenewa, Tim Indonesia tersebut terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia'
karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika
Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang
sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para
majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan
bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: Tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."
Masih dalam
kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi
sektor demi sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini
dilakukan dengan cara yang amat spektakuler."
"Mereka
membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar
lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang
lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi
yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para
investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling
dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang
kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang
infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat
menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu
sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang
diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya
investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."
Freeport
mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi
AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di
Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit
Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan
hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Dia juga menolak bantuan keuangan dari AS berupa pinnjaman uang.
Sukarno menilai bahwa hubungan antara dunia pertama dengan dunia ketiga adalah
yakni antara Oldefos dan Nevos antara Old establish forces dengan New Emerging
Forces adalah bentuk dari neokapitalisme. Contoh dari neokapitalis berdasarkan
pandangan ini adalah Italia dan Inggris. Pemikiran ini berkembang hingga tahun
1965.
2.2
Keterlibatan Amerika Serikat di Indonesia
2.2.1 Peranan CIA Terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah Oktober 1917
begitu mencemaskan AS. Sejak itu, AS merancang satu strategi untuk
menghancurkan Rusia. “Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson
mengumumkan Program 14 Pasal. Dalam suatu komentar rahasia mengenai program
ini, Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Uni Soviet
sudah direncanakan. ” Dan dikemudian hari, kita sama-sama mengetahui bahwa
Soviet benar-benar dihancurkan di tahun 1992.
Truman
Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul
dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari
puing-puing akibat PD II. Dan tahukah anda jika Indonesia (istilah dulu “Hindia
Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang tercakup dalam
rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda
menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia.
Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di
Jogja kala itu.
Bukan itu saja, Washington juga
secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.
Hal itu bisa terbaca ketika tentara Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera
pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan
mengendarai jeep Angkatan Darat AS. Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda
dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.
Perhatian AS terhadap Indonesia
sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat
strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun
membangun basecamp nya dibeberapa titik :
·
Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di
Okinawa-Jepang,
·
Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30
Agustus 1951,
·
ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1
September 1951,
·
Korea Selatan pada 1 Oktober 1953,
·
Taiwan pada 2 Desember 1954.
Hebatnya, semua perkembangan global
di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Presiden RI 1 yang sejak muda
sudah menunjukkan kekritisannya. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan
kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu
hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan
makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo
Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam pandangan Soekarno, Soviet
lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet belum pernah menjadi negara
kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan Perancis adalah bekas
negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS. Atas sikap keras kepala
Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk Pan- Pacific
untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti menentang
tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme dan
imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi
Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali MENYINGKIRKANNYA.
Gerak Cepat Soekarno Menasionalisasi
Aset -Aset Belanda di Indonesia
Pada 1957, untuk memperkuat
perekonomian nasional, Bung Karno bertindak cepat mengambil langkah berani dan
cerdas dengan menasionalisasi aset-aset milik Belanda. (Satu langkah yang
bahkan mungkin tidak ada dalam gambaran SBY saat ini). Soekarno tahu jika
rakyat tentu mendukung penuh langkah ini. Namun Soemitro dan rekan-rekannya
yang PRO BARAT dengan berani menentang Bung Karno dan malah bergabung dengan
para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh CIA.
Dalam waktu bersamaan, November
1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang dikenal dengan
peristiwa Cikini. Bung Karno selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang
disekelilingnya terluka. Edisi Koleksi Angkasa berjudul “Dirty War, Mesiu di
Balik Skandal Politik dan Obat Bius” memaparkan keterlibatan CIA dalam
peristiwa ini.
Pemerintah kala itu mendeteksi jika
tindakan makar tersebut didalangi oleh komplotan extreem kanan yang dimotori
Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan Rahasia Negara Indonesia (BraNI), cikal
bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan tegas Bung Karno mengatakan jika CIA berada
di belakang usaha-usaha pembunuhan terhadap dirinya. Tudingan Bung Karno
terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite Intelijen Senat AS yang diketuai
Senator Frank Church dengan Richard Bissel Jr—mantan wakil Direktur CIA bidang
perencanaan operasi—22 tahun kemudian, terungkap jika saat itu nama Soekarno
memang sudah masuk dalam target operasi Direktur CIA, Allan Dulles.
Dukungan Besar CIA Pada Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Dalam operasi mendukung
PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan
Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan
sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat
Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan
Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
Malam hari, 7 Desember 1957,
Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada
ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis
di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh
berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah
pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi
tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak
AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
Selain memberikan ribuan pucuk
senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka granat kepada para
pemberontak, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam
artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom,
dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina dan AU-Taiwan seperti
pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11 Kansan, pesawat transport
Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan CIA kepada pemberontak.
Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan udaranya sendiri yang
dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat tempur tersebut
bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea Selatan, Taiwan,
dan juga Filipina.
Agen CIA Tertangkap Basah
Seperti biasanya, awalnya pemerintah
AS membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh
ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu,
pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh
sistem penangkis serangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI),
Pilot tempur pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope, agen CIA yang sengaja
ditugaskan membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno.berhasil
ditangkap hidup-hidup.
Ancaman AS dibalas Dengan Ancaman Balik Oleh Bung Karno
Atas gertakan AS yang sampai
mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7 nya ke perairan
Riau, Bung Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar jangan
ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. “AS jangan bermain api
dengan Indonesia. Jangan sampai kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya
Perang Dunia Ketiga!”
Bung Karno segera mengirim satu
pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di
Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara
regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan
pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya.
“Kekuatan angkatan perang kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,”
ujarnya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad
Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi para
pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang
berarti.
Bahkan pesan rahasia CIA kepada para
pimpinan pemberontak yakni sebelum mundur dari Riau mereka harus meledakkan
instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah
menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan
setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, ini sama
sekali tidak sempat dilakukan. Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas.
Sumitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan
meloloskan diri ke Singapura dan tahukah anda, dari ‘Basis Israel di Asia
Tenggara’ itulah, kelompok ini terus menggerogoti kekuasaan Bung Karno sampai
tumbang!
Operasi Dua Muka AS
Walau awalnya AS membantah
keterlibatannya, namun mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika dirinya
tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan Jones dalam
memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145). Upaya CIA menumbangkan
Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat film porno “Bung Karno”,
sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara.
Hal ini menjadikan CIA harus bekerja
ekstra keras. Apalagi Bung Karno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan
peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS
menolak memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih
jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung
PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia. Namun walau di
permukaan AS tampak kian melunak, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi
dua muka’ terhadap Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui
hubungannya dengan Bung Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk
menumbangkan Bung Karno dan menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia
yang mau tunduk pada kepentingan Amerika.
Di sisi lain, CIA juga menggarap
satu proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang PRO BARAT yang kini
dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh
penting dalam kelompok ini. (untuk hal ini lebih lanjut silakan baca artikel David
Ransom: “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya Baru
dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”; Ramparts;
1971).
Terbukanya Upeti Besar dari Asia
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira pihak
Washington. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai
“Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun
yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti
harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang
ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini justru digadaikan
dengan harga murah kepada Amerika Serikat. Apalagi di zaman pemerintahan SBY
saat ini.
Prosesi digadaikannya seluruh
kekayaan alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat
terjadi di Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi
dipimpin Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim yang kelak disebut
sebagai Mafia Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin
Rockefeller. Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan
tambang dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada
korporasi-korporasi asing.
Freeport mendapat gunung emas di
Irian Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang
kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The
NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua CEO korporasi asing tersebut
dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Sejak kegagalan mendukung
PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau
perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil
dan militer AS juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang
dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno. Orang yang dijadikan
penghubung antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik (lihat
tulisan Kathy Kadane, seorang lawyer dan jurnalis State News Service, berjudul
“Para Mantan Agen Berkata: CIA Menyusun Daftar Kematian di Indonesia”; Herald
Journal, 19 Mei 1990.).
Untuk membangun satu kelompok
militer—terutama Angkatan Darat—di Indonesia yang ‘baru’ (baca: pro Amerika),
AS menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort
Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah
perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang.
(Suroso; 2008; h. 373). AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia PRO BARAT
ini untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes:
A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen
CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang terakhir
ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan kawan-kawan-dengan para
pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Demikianlah, sudah banyak literatur
dan dokumen yang membongkar keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober 1965,
yang pada akhirnya menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto. Atas
nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama
kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di
Indonesia kepada Jenderal Suharto. CIA memang memberi daftar target operasi
sejumlah 5.000 orang, namun fakta di lapangan jauh di atas angka itu. Kol.
Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini,
terutama di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil
dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga orang-orang kecil yang
tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor konspiratif antara CIA
dengan para ‘local army friend’.
Dan tahukah anda strategi CIA dalam
menggulingkan Soekarno kembali dipakai untuk membantu junta militer Chili
mengudeta Presiden Salvador Allende yang Sosialis, dan menaikkan Wakil Panglima
Bersenjata Chili Augusto Pinochet Agurte dengan nama sandi : OPERASI JAKARTA
(operasi bentukan Presiden AS Richard Nixon).
Jika kenyataan sejarah telah
mengungkap borok Amerika dan jaringan PRO BARAT nya. Tidak menutup kemungkinan
jika kejadian serupa akan terulang dengan modus yang sama :
·
Ada pangkalan militer dimana terdapat manusia2 Pro Barat
yang direkrut dan digodok,
·
Ada pertemuan rahasia di Basis Israel di Asia Tenggara,
·
Ada antek Pro Barat yang dipelihara.
Sungguh negeri yang benar-benar
sudah dicengkram oleh Jaringan Licik Internasional. Negeri yang Merdeka dalam Belenggu.
Negeri Yang Penuh Fatamorgana, keamanannya pun fatamorgana. Sekali lagi kita
disodori bukti tak terbantah jika Kaum Pro Barat adalah duri dalam daging yang
suatu saat menjelma menjadi kekuatan mereka. Tidak dapat tidak, ini hanya bisa
dipahami oleh orang yang TIDAK SEKEDAR MEMILIKI AKAL tetapi juga mempergunakan
akalnya itu.
BAB
3. PENUTUP
3.1
Simpulan
Indonesia sebagai objek utama Marshall Plan desain Amerika, planing
yang muncul sebagai sebuah ketakutan akut Amerika jika Indonesia berubah
menjadi Negara Komunis, Negara yang seirama dengan UniSoviet musuh besar
Amerika kala itu. Jelas perubahan Indonesia menjadi Negara komunis akan menjadi
sandungan besar bagi perjalanan hidup neokolonialisme yang Amerika pilih.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri
ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah
Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus ditumbangkan, dengan berbagai
cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung
berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina
kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley),
mendekati dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat
PSI), membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan
sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai
hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno berhasil
disingkirkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan
penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai
"Hadiah terbesar dari Asia Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang
sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan
sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan
‘sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Truman
Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947. Disusul
dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari
puing-puing akibat PD II. Dan tahukah anda jika Indonesia (istilah dulu “Hindia
Belanda”) merupakan satu-satunya wilayah koloni Eropa yang tercakup dalam
rencana dasar Marshall Plan. Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda
menyebabkan Den Haag mampu untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia.
Belanda melancarkan embargo ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di
Jogja kala itu.
Bukan itu saja, Washington juga
secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.
Hal itu bisa terbaca ketika tentara Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera
pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan
mengendarai jeep Angkatan Darat AS. Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda
dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948.
Perhatian AS terhadap Indonesia
sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat
strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa. Untuk itu AS pun
membangun basecamp nya dibeberapa titik :
·
Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan militer di
Okinawa-Jepang,
·
Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri pada 30
Agustus 1951,
·
ANZUS (Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1
September 1951,
·
Korea Selatan pada 1 Oktober 1953,
·
Taiwan pada 2 Desember 1954.
Hebatnya, semua perkembangan global
di atas telah dipelajari dengan seksama oleh Presiden RI 1 yang sejak muda
sudah menunjukkan kekritisannya. Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan
kekayaan alam yang luar biasa. Sebab itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu
hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh menjadi sebuah negeri yang besar dan
makmur. Sikap Soekarno inilah yang membuatnya menentang segala bentuk Neo
Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam operasi mendukung
PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main. CIA menjadikan
Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan
sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari Singapura, pejabat
Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif berkoordinasi dengan
Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar