
FEODALISME
PAPER
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pembimbing Bapak Dr.Suranto., M.Pd
Oleh
:
IFTITAH
DIAN HUMAIROH 120210302015
KELAS
B
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
A.
KONSEP DASAR FEODALISME
Feodalisme
merupakan system social ciri khas dari abad pertengahan dari system itu
melahirkan masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan
kesewenang-wenangan oleh sang penguasa. Istilah feodalisme pertama kali
dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode tersebut sebagai pembeda
periode tersebut dari modernitas.
Feodalisme adalah sebuah system
pemerintahan yang dipegang oleh tuan feudal untuk menaungi para vassal yang telah menyerahkan fief. Pemerintahan semacam itu disebut
feudal system.
Feodalisme merupakan suatu system
yang telah berperan penting dan menggoreskan warma tersendiri dalam peradaban.
Dalam konteks eropa Istilah “feudal” berasal dari kata Latin “feudum”
yang sama artinya dengan fief, ialah harta milik yang dapat berupa
sebidang tanah yang diserahkan untuk sementara oleh seorang vassal kepada tuan feodal.
Dalam hal ini foedalisme berarti penguasaan hal–hal yang berkaitan dengan
masalah kepemilikan tanah, khususnya yang terjadi di Eropa Abad Pertengahan.
Foedalisme
sebagai suatu sistem yang ada di Eropa dan terjadi pada sekitar abad IX-XII
merupakan system yang jauh dari demokrasi. Dari system tersebut dapat terbentuk
dasar pemerintahan lokal, pembuatan undang-undang, menyusun dan mengatur
angkatan perang, dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kekuasaan
eksekutif. Pemerintahan ini otoriter dan itu dibuktikan dengan doktrin foedal
yang dikatakan bahwa seluruh tanah kerajaan beserta isinya itu berasal dari
raja. Raja sebagai pemilik tanah-tanah luas terbentang di wilayah kerajaannya.
Dalam pengertian yang lain dijelaskan bahwa
feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin, yang
biasanya seorang bangsawan, memiliki anak buah banyak yang juga masih dari
kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal. Para vasal
ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vasal pada
gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang
memberi mereka upeti. Dengan begitu muncul struktur hierarkis berbentuk
piramida.Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, karena
itu tanah menjadi faktor produksi utama dan jadilah pemilik tanah sebagai pihak
yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas dukungan
petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan
pedagang.
Dari berbagai sudut pengertian tentang foedalisme
dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti pembahasan dari feodalisme adalah
tanah, dimana manusia itu hidup. Tanah memegang peranan penting pada zaman
feodal, karena seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang tersebut memiliki
modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah. Sejarah
feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari
awalnya sudah haus akan kekuasaan dan kedudukan.
B.
PERKEMBANGAN FEODALISME
ASAL MULA SISTEM FEODAL
Keruntuhan Abad Kegelapan (Keruntuhan Romawi
Barat)
Membahas foedalisme di Eropa yang
berlangsung selama tiga abad yaitu abad IX,X dan XI itu,pada hakekatnya tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan beberapa faktor yang setidaknya berpengaruh
pada tumbuhnya benih-benih foedalisme di Eropa.Periode Abad Pertengahan awal
antara tahun 500-1000 merupakan masa transisi dalam sejarah Eropa yg kacau
sehingga disebut sebagai ‘abad kegelapan’. Periode ini ditandai dengan :
1.
Invasi suku-suku barbar, mula-mula orang-orang Jerman (Goth,
Frank, Anglo-Saxon, dll), kemudian disusul bangsa Skandinavia (Viking) antara
tahun 800-1000.
2.
Terbentuknya kerajaan-kerajaan Jerman dan terjadinya
perang-perang perebutan wilayah kekuasaan antara kerajaan-kerajaan tersebut.
3.
Kehancuran Romawi Barat menyebabkan ekonomi bergeser dari
kota-kota ke pedesaan. Pergeseran ini mendorong kemunculan sistem feodal di
Eropa.
Disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat setelah sekitar 800 tahun dengan
serangkaiaan penaklukan ,ekspansi dan konsolidasi politik serta aktifitas
kultural,kemudia digantikan perannya oleh Gereja.Jatuhnya Kekaisaran Romawi
Barat ,secara politis membawa pengaruh terjadinya berbagai kerajaan barbar di
Eropa.Setiap kerajaan barbar harus berupaya menata pemerintahan sendiri,karena
telah lepas dari pengaturan dan pengawasan Kekaisaran Romawi.Adapun berbagai
negara Jerman yang penting,yang didirikan di atas reruntuhan Kerajaan Romawi
Barat adalah:
1.
Kerajaan Goth Timur,wilayahnya meliputi Italia,Slav,dan
Burgundia (Swiss)
2.
Kerajaan Goth Barat,meliputi Spanyol,Kerajaan Vandal di
Afrika Utara,Kerajaan Franka di Perancis,Belgia,Belanda,dan Jerman
Barat.Sementara itu,sumbangan bangsa Aglo-Saxons yang terhalau dari Jerman
menyerbu ke tanah Inggris, kemudian mendesak bangsa-bangsa Kelt
yang datang lebih dulu ke kepulauan itu.
Akibat runtuhnya Romawi Barat,telah menyebabkan wajah Eropa menjadi
masyarakat Agraris dengan rumah tangga desa tertutup. Disitu tidak terdapat
lalu lintas uang.Semua wujud kemasyarakatan didasarkan atas kepemilikan tanah. Hanya
pemilik tanah yang memungkinkan adanya administrasi dan sistem militer
negara,keadaan ini menciptakan kebutuhan akan tanah-tanah luas.Telah terjadi
anarkhi selama tiga abad
(abad VI,VII,VIII) pada masa Keruntuhan Romawi,tercipta ketidakstabilan politik,terjadi anarkhi,tidak ada keamanan perorangan dan hak milik,di situ terjadi pertentangan semua melawan semua.Kekerasan terjadi dimana-mana ,para petani mencari perlindungan di sekitar benteng yang diperkuat terhadap ancaman penyerbuan gerombolan bersenjata.Maka,orang-prang merdeka makin lama makin tergantung pada tuan tanah,bahkan ada yang membayar dengan kemerdekaanya,tuan tanah bertindak sebagai pelindung kaum tani dan harta kekayaannya digunakan untuk biaya perang dan untuk memberi bantuan dalam bahaya kelaparan.Sebaliknya,balas jasa mengerjakan tanah untuk kepentingan tuan tanahnya. Dengan adanya kenyataan tersebut terjadilah hubungan foedal, para petani bersumpah setia dalam ikatan foedal untuk memenuhi kebutuhan hidup para tuan tanah yang memberi bantuan dan perlindungan, keselamatan hidup demi tuan tanah.
(abad VI,VII,VIII) pada masa Keruntuhan Romawi,tercipta ketidakstabilan politik,terjadi anarkhi,tidak ada keamanan perorangan dan hak milik,di situ terjadi pertentangan semua melawan semua.Kekerasan terjadi dimana-mana ,para petani mencari perlindungan di sekitar benteng yang diperkuat terhadap ancaman penyerbuan gerombolan bersenjata.Maka,orang-prang merdeka makin lama makin tergantung pada tuan tanah,bahkan ada yang membayar dengan kemerdekaanya,tuan tanah bertindak sebagai pelindung kaum tani dan harta kekayaannya digunakan untuk biaya perang dan untuk memberi bantuan dalam bahaya kelaparan.Sebaliknya,balas jasa mengerjakan tanah untuk kepentingan tuan tanahnya. Dengan adanya kenyataan tersebut terjadilah hubungan foedal, para petani bersumpah setia dalam ikatan foedal untuk memenuhi kebutuhan hidup para tuan tanah yang memberi bantuan dan perlindungan, keselamatan hidup demi tuan tanah.
Unsur Kebudayaan yang Membentuk
Foedalisme
Foedalisme mulai tumbuh pada percampuran kebudayaan Roma dan Jerman.Tentu
saja percampuran kedua kebudayaan ini kemudian menimbulkan sebuah sistem baru
yang disebut foedalisme. Unsur kebudayaan yang membentuk feodalisme adalah :
1.
Budaya militer suku-suku bangsa Jerman, berupa kebiasaan
para pemimpin pasukan untuk membagikan rampasan perang kepada para prajurit
sebagai imbalan atas pelayanan mereka. Pola ini merupakan dasar hubungan feodal
(lord-vassal)
2.
Sistem kepemilikan tanah Romawi yg menjadi semakin penting
ketika perdagangan mundur akibat perang. Para petani miskin yang tidak mampu
membayar pajak sering mengalihkan tanahnya kepada bangsawan atau tuan tanah,
yang kemudian meminjamkan tanah itu kepada para petani miskin untuk dikelola.
Pada praktiknya para petani yg terikat pada tanah yang bukan miliknya ini
berkedudukan setengah budak. Orang-orang Jerman lambat laun mengadopsi
kebiasaan ini
Evolusi menuju pemerintahan foedal dapat kita telusuri pada Kerajaan
Franka. Di pusat Kerajaan Franka, awal foedalisme mulai tumbuh menuju
kedewasaan kokoh. Di tengah situasi yang kacau, anarkis, merosotnya keadaan
ekonomi di Eropa akibat runtuhnya perdagangan dan juga runtuhnya Kekaisaran
Romawi Barat, makin banyak orang bebas mencari perlindungan kepada kaum elit
militer pemegang kuasa di pedalaman. Masyarakat pedalaman terdiri dari petani
kecil,prajurit tak bertuan dan pengungsi dari kota yang terbengkalai itu
mengikat diri menjadi penyewa tanah dan prajurit keluarga tuan tanah yang
semakin besar.
Kerajaan Franka yang dibangun oleh dinasti Meroving lambat laun menghadapi
dilema politik. Hal ini karena penyerbuan dari dari suku-suku barbar.Sehingga
mereka tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali menghadiahkan kedudukan
pemerintahan kepada ksatia dan uskup baik dari golongan sekuler maupun
kegerejaan.Hadiah itu berupa tanah perdikan yang dihibahkan seumur hidup kepada
para uskup tersebut dengan persyaratan tetap setia pada mereka.Pada
perkembangnya,para uskup tersebut mengingkari perjanjian untuk tetap setia
kepada Dinasti Meroving.Dari hal ini seyogyanya tanah yang dihibahkan tersebut
bersifat sementara,tetapi ternyata beerubah menjadi hak kepemilikan tetap dan
diwariskan.Tentu saja hal ini berpengaruh pada kurangnya kewibawaan Dinasti
tersebut dan berakibat digantikannya oleh kekuasaan Dinasti Karoling.
Ketika Dinasti Karoling berkuasa,terjadi perubahan luar
biasa yang digagas oleh Charmelagne sebagai penguasa terkenal pada masa
itu.Tradisi tanah dan kepenguasaan yang semula telah merosot dicoba untuk
ditata.Berkat kberhasilan dalam menghimpun pasukan-pasukan kavaleri yang mulai
dirintis oleh penguasa pendahulunya,berusaha untuk memperluas wilayah
kekuasaannya.Sepeninggal Charmelagne,tanda-tanda kelahiran foedalisme mulai
menunjukkan bentuknya.Hal ini sekali lagi dipengaruhi oleh serbuan orang-orang
barbar dari Skandinavia yang merupakan jelmaan dari suku Viking yang terkenal
kejam dan buas,penguasa Franka harus membangun pertahanan baru yang kuat yang
berupa tembok-tembok tebal dan puri berbenteng.Pertahan yang berupa benteng
yang kokoh itu mendorong para buruh tani mulai memadati daerah daerah sekitar
yang berada dalam naungan perlindungannya.
SISTEM
SOSIAL MASYARAKAT DAN PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN ERA FOEDAL EROPA ABAD PERTENGAHAN
Sistem Sosial Masyarakat
Foedal
Sistem
sosial yang berkembang pada masyarakat foedal Eropa umumnya terbentuk dengan
sistem manor .Manor meliputi sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan
atau gereja. Manor merupakan suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik
manor bukan hanya menjadi tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung,
hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawan ini termasuk dalam suatu
hirarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi,
tapi dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemilik dan
penguasa yang tak diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di
manornya. Orang yang hidup diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai
miliknya sebagaimana halnya rumah, tanah dan tanaman. Di sekeliling rumah
bangsawan terdapat ladang rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1
atau 1 ½ hektar. ½ atau lebih dari hasil
ladang ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang
menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi
ketimpangan antara budak belian dan tuan tanah.
Orang merdeka atau dalam kalangan apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang memiliki sendiri tanahnya tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain. Pemilikannya sebenarnya berarti bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya, kecuali dalam keadaan darurat. Orang yang lebih rendah dari budak tidak mempunyai hak ini. Seorang budak belian terikat pada tanah yang dikerjakannya, tanpa ijin dan keterangan yang kuat, dia tidak akan diijinkan untuk meninggalkan baik masih dalam batas-batas manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya. Berdasarkan statusnya timbul serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar dari organisasi ekonomi manor. Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan bekerja untuk tuan tanah dan lain sebgainya. Kewajiban ini berbeda-beda antara manor yang satu dengan manor lainnya, pada tempat-tempat tertentu mereka harus bekerja lima hari dalam seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya sendiri dikerjakan oleh keluarganya (anak dan istrinya). Dan akhirnya budak belian juga harus membayar beberapa macam pajak, seperti pajak kepala, pungutan kematian, pajak kawin atau iuran untuk pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian memberikan tenaganya untuk tuan tanah, maka sebagai imbalannya si tuan tanah memberikan sesuatu yang tidak dapat diusahakan sendiri oleh sang budak. Yang utama yaitu menjamin keamananfisik.
Petani merupakan sasaran utama para perampok atau musuh, mereka tidak berdaya kalau ditangkapi dan tidak mampu melindungi miliknya terhadap perampokan. Dari hal itu mereka butuh perlindungan dan tidak heran meskipun budak merdeka memberikan pengabdiannya pada tuan tanah. Dan sebagai imbalan pengabdian mereka dalam hal politik, ekonomi dan social ini, mereka mendapat perlindungan dari tuan tanah. Disamping itu tuan tanah juga memberikan suatu bentuk keamanan ekonomi. Pada saat-saat bahaya kelaparana melanda, tuan tanahlah yang memberi makan mereka dari simpanan di gudangnya. Walaupun meraka harus membayarnya, budak belian itu dibolehkan memakai peralatan dan ternak tuan tanah untuk mengerjakan tanahnya ataupun tanah tuannya. Pada saat-saat budak belian tidak punya alat-alat produksi, maka mereka akan diberi alat-alat tersebut dengan Cuma-Cuma kepada sang Budak.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Penggarap tanah membayar kewajibannya kepada tuan tanah dalam berbagai bentuk, setiap budak harus bekerja beberapa hari tertentu dan memberikan barang-barang tertentu seperti telor, ayam, itik, babi dan lain sebagainya. Memang benar untuk barang-barang yang diberikannya mereka dibayar ala kadarnya tapi kalau dibandingkan denga keseluruhannya jumlahnya tidak berarti, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh perekonomian manor merupakan suatu perekomian alami, karena perekonomian ini tidak tergantung pada perdagangan yang memerlukan peredaran uang.
Dari uraian diatas kita dapat memahami secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang mana suatu sistem dalam masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni para budak belian. Tulisa ini menjadi gambaran yang menarik tentang kehidupan di zaman Feodal, hubungan dianatara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang ekstrim. Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan, masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.
Orang merdeka atau dalam kalangan apapun seseorang dilahirkan, orang yang merdeka yang memiliki sendiri tanahnya tak dapat menjualnya pada tuan tanah yang lain. Pemilikannya sebenarnya berarti bahwa dia tidak dapat diusir dari tanahnya, kecuali dalam keadaan darurat. Orang yang lebih rendah dari budak tidak mempunyai hak ini. Seorang budak belian terikat pada tanah yang dikerjakannya, tanpa ijin dan keterangan yang kuat, dia tidak akan diijinkan untuk meninggalkan baik masih dalam batas-batas manor tuannya maupun pada manor bangsawan lainnya. Berdasarkan statusnya timbul serentetan kewajiban-kewajiban yang menjadi dasar dari organisasi ekonomi manor. Kewajiban-kewajiban ini dapat berupa keharusan bekerja untuk tuan tanah dan lain sebgainya. Kewajiban ini berbeda-beda antara manor yang satu dengan manor lainnya, pada tempat-tempat tertentu mereka harus bekerja lima hari dalam seminggu untuk tuan tanahnya, sehingga tanahnya sendiri dikerjakan oleh keluarganya (anak dan istrinya). Dan akhirnya budak belian juga harus membayar beberapa macam pajak, seperti pajak kepala, pungutan kematian, pajak kawin atau iuran untuk pemakaian pabrik atau tungku. Jika budak belian memberikan tenaganya untuk tuan tanah, maka sebagai imbalannya si tuan tanah memberikan sesuatu yang tidak dapat diusahakan sendiri oleh sang budak. Yang utama yaitu menjamin keamananfisik.
Petani merupakan sasaran utama para perampok atau musuh, mereka tidak berdaya kalau ditangkapi dan tidak mampu melindungi miliknya terhadap perampokan. Dari hal itu mereka butuh perlindungan dan tidak heran meskipun budak merdeka memberikan pengabdiannya pada tuan tanah. Dan sebagai imbalan pengabdian mereka dalam hal politik, ekonomi dan social ini, mereka mendapat perlindungan dari tuan tanah. Disamping itu tuan tanah juga memberikan suatu bentuk keamanan ekonomi. Pada saat-saat bahaya kelaparana melanda, tuan tanahlah yang memberi makan mereka dari simpanan di gudangnya. Walaupun meraka harus membayarnya, budak belian itu dibolehkan memakai peralatan dan ternak tuan tanah untuk mengerjakan tanahnya ataupun tanah tuannya. Pada saat-saat budak belian tidak punya alat-alat produksi, maka mereka akan diberi alat-alat tersebut dengan Cuma-Cuma kepada sang Budak.
Beberapa hal yang perlu diketahu dalam perekonomian lingkungan manor yakni, yang pertama masyarakat diatur dan disusun menurut tradisi, karena tidak adanya pemerintah pusat yagn kuat, maka palaksanaan intruksi dari ataspun sangat lemah. Akibatnya laju perubahan dan perkembangan ekonomi masyarakat ini menjadi dangat lambat selama abad pertengahan. Yang kedua, peredaran uang sedikit sekali, karena manor hanya mencukupi kebutuhannya sendiri tidak menjual hasil produksinya ke kota-kota, maksimal hanya kebutuhan kota kecil setempat. Tidak ada manor yang memenuhi kebutuhannya sedemikian rupa sehingga hubungan dengan dunia luar tidak terjalin sama sekali, bahkan beberapa budak membeli kebutuhan karena banyak barang-barang yang tidak mampu dihasilaknnya sendiri. Hal diatas menyebabkan sedikit sekali peredaran uang yang terjadi.
Penggarap tanah membayar kewajibannya kepada tuan tanah dalam berbagai bentuk, setiap budak harus bekerja beberapa hari tertentu dan memberikan barang-barang tertentu seperti telor, ayam, itik, babi dan lain sebagainya. Memang benar untuk barang-barang yang diberikannya mereka dibayar ala kadarnya tapi kalau dibandingkan denga keseluruhannya jumlahnya tidak berarti, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh perekonomian manor merupakan suatu perekomian alami, karena perekonomian ini tidak tergantung pada perdagangan yang memerlukan peredaran uang.
Dari uraian diatas kita dapat memahami secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang mana suatu sistem dalam masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni para budak belian. Tulisa ini menjadi gambaran yang menarik tentang kehidupan di zaman Feodal, hubungan dianatara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang ekstrim. Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan, masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.
Ada setidaknya empat komponen utama
yang membentuk sistem feodal yaitu :
1.
Lord adalah pemilik tanah, biasanya seorang bangsawan dari
keluarga raja atau kalangan agamawan (uskup, biarawan)
2.
Vassal atau Knights adalah adalah kaum bangsawan yang
memberikan jasa (umumnya dalam bentuk dukungan militer) kepada Lord dengan
imbalan berupa tanah yang disewakan
3.
Fief adalah tanah yang disewakan berupa lahan-lahan
pertanian
4.
Serf atau penggarap tanah ialah petani yang mengerjakan
lahan pertanian dengan status setengah budak.
Peranan Petani Pada Era Foedalisme Eropa
Petani Eropa sebenarnya merupakan kelompok sosial terbesar dalam masyarakat
Abad Pertengahan.Pada awal abad itu keseluruhan petani yang berdiam di wilayah
pedesaan hidup dari hasil pertanian.Ketika awal masa Kekaisaran Romawi
kehidupan kota ditopang oleh peerluasan perdagangan dan industri ,namun sejak
kekaisaran itu terjadi disintegrasi sampai pada dihancurkannya oleh
perang-perang saudara dan dibarengi oleh invasi suku Jerman,maka hasil
pertanian mulai dirasa ikut mendukung kebutuhan kota.
Pada masyarakat foedal sebagian masyarakat Eropa hidup di wilayah
pedesaan.Pada masa Kekaisaran Charlemagne (768-814),misalnya : Petani di
wilayah Franka diperkirakan berjumlah 90 % dari seluruh jumlah penduduk yang
ada.Ksatria tau bangsawan sebagai komponen lain dalam strata masyarakat Franka
hanya sekitar 5 % ,sisanya adalah para biarawan dan pejabat gereja.Sehingga
pertanian merupakan pilar kehidupan masyarakat Abad Pertengahan dan petani
sebagi tulang punggung ekonomi masyarakat foedal.Di wilayah Eropa Barat dikenal
adanya dua jenis pemukiman: warga pedusunan dan warga desa.Pada umumnya,dusun
–dusun kecil didpatkan pada daerah-daerah yang tanahnya tidak subur atau tandus
sebagaimana yang terdapat di Skotlandia,Wales,Cornwall,Britania,Normandia
Barat,dan tanah tinggi Perancis.Sedangkan tanah-tanah yang subur berada di
pedalaman yang terdiri banyak desa.
Sistem yang berkembang pada masyarakat foedal pada Abad Pertengahan disebut
manor.Manorialisme merupakan masyarakat agraris Eropa.Manor merupakan unit
sosial khas dalam kehidupan masyarakat agraris Eropa.Sebagai unit sosial,manor
melahirkan sistem pengaturan tanah dengan menempatkan posisi sekelompok kecil
lord menguasai dan mengatur kehidupan kaum tani.Di setiap manor didapati sebuah
desa beserta rumah-rumahnya yang saling berdekatan,mengesankan bahwa dalam
kehidupan manor menunjukkan nilai –nilai
kebersamaan.Pada umumnya ,desa terletak di dekat aliran sungai .Di pusat
manorial berdirilah rumah sang lord didekatnya terdapat bengkel pandai
besi,kandang teernak dan lumbung pangan.Di setiap manor terdapat gereja desa
dengan halamannya biasanya berdampingan dengan rumah rumah sang
pendeta.Sedangkan rumah-rumah lainnya dihuni
para petani.Tanah pertanian terletak di luar desa.Luas petak sawah
seperti yang terdapat di Inggris misalnya,seluas sekitar 800 m2
(panjang 40 m dan lebar 20,8 m).
Tanah produktif manorial dibagi dalam dua bagian:satu bagian dikerjakan
petani untuk kepentingan tuan tanah,bagian lainnya dikerjakan petani untuk
kepentingan petani sendiri.Petani memiliki kewajiban untuk memberi upeti kepada
tuan tanah dalam bentuk hasil-hasil pertania,unggas atau babi.Pungutan-pungutan
khusus juga harus dibayarkan petani yaitu dengan membayar pajak tahunan.Jika
pajak ini tidak dibayar,semua ternak dan barang milik petani serta hak untuk
mewariskannya pada keturunannya akan dicabut.Sistem-sistem lain sangatlah
merugikan para petani dan para budak pada masa foedal.Tetapi dibalik itu semua
masih memilki segi-segi positifnya.Setiap petani memiliki tanah yang menjadi
tanggungan hidup mereka.Kecuali jika terjadi musim paceklik,jarang ada petani
yang kelaparan.Sistem manorial relatif mampu menopang penduduk yang besar,yang
pada abad pertengahan terus meningkat.
Foedalisme dan
Ksatriaan Foedal
Pada masa foedalisme Eropa identik dengan kekerasan dan
kebrutalan.Sedangkan ciri utama dalam citra masyarakat foedal memiliki tipe
ideal kelaki-lakiannya sendiri.Pada awal zaman foedal,ketika hidup masih penuh
dengan peperangan dan kekerasan,laki-laki ideal adalah jago kelahi yang
hebat,yang berani berani berkelahi hingga titik darah penghabisan,setia dengan
sumpahnya,setia kepada tuannya,dan sungguh-sungguh melindungi
vassal-vassalnya.Untuk itu dibutuhkan latihan keprajuritan.
Seorang bangsawan muda pertama bertugas sebagai semacam pesuruh dalam rumah
tangga seorang tuan foedal,lau meningkat menjadi pengawal,yang mengawal tuannya
serta merawat kuda dan baju-bajunya.Baru pada tahap selanjutnya ia diangkat
menjadi seorang ksatira.Untuk diangkat menjadi ksatria ia harus memperlihatkan
kecakapannya dalam menggunakan senjata dan menang berkelahi.Jika ia lulus dalam
ujian-ujian tersebut,ia akan diterima ke dalam jajaran ksatria.
Keberadaan ksatria dalam masa foedal mutlak dibutuhkan,ksatria merupakan
tulang punngung kekuatan dan kekuasaan dalam suatu pemerintahn foedal.Ksatria
masa foedal merupakan kumpulan para tentara atau militer berkuda.Dalam hubungan
foedalisme ini kepala daerah foedal berstatus sebagai vassal,dan raja sebagi
yang dipertuan atau lord.Pada zaman foedal terdapat adat kebiasaan yang selalu
dilakukan oleh setiap ksatria.Ksatriaan atau dalam kata inggris chivalry
berasal dari kata Perancis chevaier
yang berarti ksatria penunggang kuda,yang berakar dari kata bahsa Latin caballus
artinya kuda.Peperangan yang sering kali terjadi pada masa foedal amat
tergantung pada kuda,sehingga masyarakat foedal disebut chivalry.Saat
itu kuda dianggap sebagi binatang aristokratik yang berarti binatang tunggangan
kaum aristokrat.Para bangsawan atau ksatria menggunakan kuda untuk
berburu,berpacu serta untuk mengikuti berbagi perlombaan.
Dalam masa foedal sosok ksatria berkewajiban mengayomi vassalnya,selalu
siap mendampingi lordnya sewaktu-waktu berperang karena itu merupakan
tugas.Dalam masa perang,ksatria diharapkan dapat memberikan sumbangan dari
hasil rampasan perang,tanah dan juga tawanan perang.Pada masa damai,para
ksatria mempunyai kegemaran beburu binatang yang disertai dengan anjing-anjing
pemburu binatang di hutan-hutan.
Perkembangan Kebudayaan Era
Foedalisme Abad Pertengahan
Selama abad kegelapan yang menyelimuti periodisasi sejarah Abad Pertengahan
awal perkembangan kebudayaan bisa dikatakan tidak terlalu berkembang.Karena
pada periode itu seluruh lapisan masyarakat disikbukkan dengan peperangan dan
perebutan kekuasaan.Tentunya pada era foedalisme perkembangan kebudayaan dan
peradaban masyarakat Eropa lambat laun menunjukkan suatu keberadapan.Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya karya-karya masyarakat eropa baik itu kesenian dan
kesusasteraan yang bisa dibilang sebuah prestasi gemilang dari sebuah
kebangkitan peradaban.Perkembangan peradaban dan kebudayaan Foedal tentulah
tidak jauh dari peran para manorial dan rakyat pendukung yang notabene adalah
para petani.
A. Perkembangan
Seni Era Foedalisme Eropa
Ketika membahas tentang perkembangan seni abad pertengahan tentulah hal ini
tidak bisa dipisahkan dari pola arsitektur atau seni bangunan,seni lukis dan
seni pahat yang memang sangat menonjol dari keseluruhan cabang seni yang
ada.Begitu pula pada era foedalisme Eropa.
1.
Arsitektur Pada Periode Romanesque
Istilah ini mengacu pada seni yang berkembang di Eropa barat dari sekitar
tahun 1000 hingga 1200.Sebagaimana telah diketahui,kondisi sosial dan ekonomi
pada abad X mengalami peningkatan. Hal ini mendorong kebangkitan kembali
aktivitas seni abad pertengahan.Gereja-gereja yang dibangun dengan gaya baru
disegala penjuru Eropa barat meningkatkan kembali pada basilika-basilika yang
dibangun di Roma pada abad IV,V dan VI.Itulah sebabnya maka gaya baru ini
disebiut Romanesque .
Gereja yang dibangun dengan gaya Romanesque berbentuk 4 persegi
panjang,dibagian ruang tengahnya teerdapat dua atau empat gang dengan satu atau
dua transept satu atau lebih apse,sebuah narthex dan
terkadang juga sebuah atrium.Lengkungan-lenkungannya dibuat bulat
,dibangun diatas arc ( busar) yang berbentuk separoh lingakaran
.Tiang-tiangnya juga dibuat bundar,beratapkan kapital-kapital yang menopang
lengkungan-lengkungan.Pada bagian tembok yang datar penuh dengan dekorasi yang
berbentuk lukisan-lukisan.Dibagian-bagian tertentu terdapat patung-patung .
Untuk memahami dasar-dasar arsitektur yang paling sederhana sekalipun kita
harus mengerti bagaimana suatu bangunan didirikan.Karena pada mulanya atap
gereja yang Romanesque terbuat dari kayu,dan itu berarti mudah terbakar,maka
dalam perkembangan selanjutnya atap itu terbuat dari batu.Atap batu ini
diletakkan diatas ruang tengah membujur diatas lorong-lorong,dan transept.Pada
bangunan-bangunan yang kecil,kubah batu yang tampak kecil,rendah,dan
gelap.Namun,dalam perkembangan selanjutnya,para arasitek merancangnya dengan
lebih besar,dan lebih bagus,dan segalanya berbahan dasar batu,agar tidak mudah
terbakar.Dengan rancangan yang lebih besar,berarti lebih banyak jema’at bisa
ditampung didalamnya.
Salah satu gereja gaya Romanesque yang terkenal adalah katedral Pisa,yang
selesai dibangun pada 1093.Dua lorong utamanya beratapkan batu.Langit-langit
datar yang terbuat dari kayu menutupi ruang tengahnya.Kubah yang rendah tepat
diatas persimpangan antara ruang tengah dan transept.ruang taengah
diapit dua deret tiang yang masing-masing berjumlah 34 buah.sebuah menara
lonceng dibangun dibelakang gereja,dan menara itu dikelilingi tiang-tiang
dengan lengkungan-lengkungannya yang bulat.Contoh lain dari bangunan gaya
Romanesque yang perlu dicatat adalah gereja biara Cluny.gereja ini diresmikan
pada 1131,dan dalam perkembangan selanjutnya,sangat berpengaruh terhadap
bentuk-bentuk gereja di daerah-daerah lain di Eropa.Diantara lain karena
konggregasi Cluny itu sendiri merupakan sekelompok biarawan yang sangat
berpengaruh di Eropa,sebab mereka adalah penyebar semangat baru dalam dunia kristen.
Gereja biara Cluny merupakan gereja yang sangat besar dan megah.Selain
ruang tengah,dua lorong dikiri dan kanan,dan transept,ruang koor dan
kursi uskup.Gereja ini juga memiliki sebuah atrium yang luas.Didekat
salib utama terdapat menara berbentuk segiempat.Kubah gereja ini berbentuk
silinder.
2..Seni Pahat
Pada Periode Romanesque
Pahatan yang menggambarkan peristiwa-peristwa dalam kehidupan kristus serta
para santo banyak dijumpai di gereja-gereja.Pada gerbang besar di depan pintu
masuk biasanya dihiasi dengan pahatan-pahatan yang menggambarkan peristiwa
kebangkitan Yesus ,Penagdilan tearkhir,kehidupan kristus,kejayaan kristus yang
dikelilingi para rasul,serta peristiwa-peristiwa lainnya.Selama masa Romanesque
penggambaran peristiwa-peistiwa tersebut kurang tampak hidup ,tetapi pola yang
tergambar langsung memahatkan bayangan-bayangan yang ada dalam memori mereka,atau
sekedar mengikuti contoh yang sudah ada.Hasilnya ,seni pahat Romanesque tidak
tampak naturalistik.
3. Seni Lukis Pada Periode Romanesque
Seni lukis pada periode tersebut
tampaknya belum terdapat suatu tanda-tanda adanya sebuah lukisan yang telah dihasilkan
oleh masyarakat pendukung era foedalisme di Eropa.Baru berkembang pesat ketika
memasuki periode Gothik,dimana saat periode tersebut seni lukis berasas pada
seni lukis Italia dan seni lukis Flanders.
B.
Perkembangan Kesusasteraan Era Foedalisme Eropa
Pengaruh dari berbagai macam bahasa yang berkembang pada Abad Pertengahan
ini tentulah sangat berpengaruh pada lahirnya berbagai epos,lirik dan segala
karya kesusasteraan yang berkembang pada Abad Pertengahan.Bahasa yang
berkembang pada Abad Pertengahan antara lain bahasa latin klasik dan
pop,bahasa-bahasa Germanik (bahasa Inggris,Jerman,Belanda,Denmark,Swedia dan
Norwegia) serta bahasa-bahasa kelt (bahasa Skotlandia,Prancis,Spanyol).Dengan
beragamnya bahasa yang berkembang dimasyarakat pada kala itu menghasilkan
berbagai karya sebagai berikut:
1. Epos
Foedal : Chansons de Gestes
Karya-karya
sastra sekuler (non-agamawi) yang memakai bahasa –bahasa baru Abad pertengahan
cukup menarik untuk diamati.Jenis pertama yang menarik untuk diamati adalah
epos kepahlawanan yang berjudul “ Song of Roland ”.Karya ini mengugkapkan
kehidupan,hasrat,dan ambisi putra raja dan bangsawan yang mendominasi
masyarakat Eropa.
Sinopsis ringkasnya mengisahkan Karel Agung yang selama tujuh tahun mencoba
mempertahankan Spanyol dari serbuan tentara Muslim.Ketika ia menyerah kalah di
seluruh negeri,kecuali di Saragossa.Mersile,rajanya menawarkan perdamaian dan
berjanji untuk menjadi Kristen.Roland tidak setuju dengan tawaran tersebut dan
mendesak Karel Agung untuk tetap melanjutkan peperangan.Namun ada oknum yang
tidak senang terhadap Roland yaitu Ganelon dan berkhianat serta menyusun
kekuatan untuk memberontak kepada Roland.Ketika Karel Agung meninggalkan
Spanyol,sisa-sisa prajurit yang dipimpin Roland diserang di
Roncevalles.Kemudian pada perkembangan selanjutnya Roland kembali menyusun
kekuatan untuk menghalau pemberontakan Genelon dan Kelompok Roland pun akhirnya
kalah dan Roland sang heroik gugur di medan perang ketika Karel Agung terlambat
datang untuk memulihkan keadaan.Orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan
tersebut dihukum mati oleh kaisar.Sedangkan Genelon diajatuhi hukuman berat
yaitu hancur remuk diseret kuda.
Epos “Song Of Roland” merupakan karya sastra khas masyarakat abad XI dan
XII,yang penuh diwarnai dengan peperangan yang kejam dan ganas.Karya sastra
semacam ini mengagungkan kebijakan akan kesetiaan terhadap jaminan yang
dijanjikan,kesetaan vassal kepada raja,kebencian terhadap pengkhianatan serta
peperangan yang hebat. Song of Roland adalah hasil gubahan para penyair yang
bernyanyi menghibur peziarah yang menyusuri jalan panjang dan berdebu dari
Prancis melalui Spanyol ke makan St.James di Compostela. Lagu ini menjadi
populer di kalangan bangsawan foedal.Yang kemudian terkenal dengan sebutan chansons
de gestes atau lagu-lagu perbuatan heroik.
2.
Traubadour dan Liriknya
Pada abad XII muncul jenis sastra baru,yakni puisi lirik yang dinyanyikan
para Traubadour.Kemakmuran,kesantunan dan kesenangan semakin meningkat
di kalangan kaum bangsawan.Lagu-lagu perbuatan heroik ternyata kurang begitu
menarik bagi kaum bangsawan wanita.Mereka lebih tertarik pada Trubadour
yang isinya lebih menekankan soal cinta.Salah seorang Troubadour yang
terkenal adalah Duke William IX,yang berasal dari Aquitaine.Ia menulis puisi
dalam dialek Prancis Selatan ,yakni Provencal.Puisi liriknya bertemakan soal
cinta akan keindahan,kegembiraan hidup dan persahabatan yang baik.Puisi semacam
ini tidak menyinggung sama sekali tentang militansi para prajurit Kristen.
3.
Fabel
Fabel
adalah sejenis sastra lainnya yang berkembang selama Abad Pertengahan.Sementara
cerita-cerita epos foedal populer di kalangan bangsawan,yang suka perang.Fabel
muncul di kalangan penduduk perkotaan .Fabel adalah ceita-cerita pendek yang
penuh dengan sindiran tajam dan jenaka.Karena cerita-cerita ini terkadang penuh dengan hal-hal yang seronok
,lagi pula berasal dari para calo di pasar-pasar dan gelandangan di kedai-kedai
minuman.
1.
Epos Tentang Binatang Buas
Di antara epos-epos tentang binatang buas,pusi dengan judul “ Reynard the
Fox” (Reynard si rubah) merupakan yang palin terkenal.puisi tersebut merupakan
setire tentang kondisi sosial dan politik masa foedal.Kelemahan-kelemahan
manusia diungkapkan secara ironis,seraya menanamkan pelajaran moral.Singa
adalah raja dan binatang-binatang lainnya adalah vassal-vassalnya.
C.
PERKEMBANGAN FEODALISME DI INDONESIA
1.Rakyat Indonesia pada
masa komunal primitif menuju perbudakan (1500 SM – 300 M)
Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia dapat pula diketahui bahwa terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu. Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang dimiliki ‘Mon Khmer’ maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang. Peristiwa ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia.
Cirinya ialah banyak terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja-2 mulai tumbuh.
2. Rakyat Indonesia pada masa setengah perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)
Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.
3. Rakyat Indonesia pada masa feodalisme dan kolonialisme (1602 M – 1830 M)
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.
Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, salah satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van Bandanaira, meskipun bisa dihancurkan VOC selama 2 minggu.
VOC dengan dukungan penuh militer Republik Belanda Bersatu menguasai Banten kemudian memenangkan peperangan melawan Sultan Agung yang heroik pada tahun 1628-1629. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.
Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan dan menanggung banyak beban hutang. Besarnya biaya perang yang harus dikeluarkan dan korupsi yang merajalela di dalamnya telah mempercepat kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.
Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Raffles (1811-1816) dan Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen; demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, akan tetapi tetap menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, wedana dan asisten wedana, hingga demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah.
Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi yang lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal. Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di mana kerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung dari kerajaan Mataram. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis. Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.
Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.
4. Rakyat Indonesia di bawah penindasan Kolonial dan Setengah-Feodal (1830 -1949)
Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.
Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa. Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.
Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik. Demikian pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kapitalis dagang atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri imperialis mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.
Sistem Tanam Paksa dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan tanah feodal STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam).
Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Di Deli, pembangunan perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja untuk membuka hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau. Semula tenaga kerja didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka mulai mendatangkan tenaga kerja dari Jawa, karena tenaga yang tidak mencukupi dan mahal. Perkebunan mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak. Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Proletarisasi juga ada kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah maupun dalam tansaksi jual beli.
Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara Belanda. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda, menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya.
Di lain sisi, dalam negeri terjadi kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah dan harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, kerja wajib yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah diluar seperlima, beban kerja yang terus bertambah selain mengolah tanah ditambah juga dengan menjadi buruh angkut dan tidak dibayar, dan penyakit menular membuat banyak sekali petani yang meninggal dunia mencapai 7% dari buruh tani setiap tahunnya. Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaum herediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah.
Antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak. Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu.14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan. Dalam pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaum herendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah.
Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, kabupaten Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%.
Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.
Tidaklah benar tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial.
Artinya bahwa kaum liberal hanya memanfaatkan pemberontakan rakyat yang sedang massif dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan usaha di tanah jajahan kepada mereka. Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik “balas budi” pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.
Peralihan usaha-usaha dari STP ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM, harus diakui telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini terutama dengan masuknya investor-investor dari Eropa baik dari Belanda sendiri maupun dari Eropa lainnya, karena dukungan kebijakan dari pemerintahan kolonial. Dukungan yang paling nyata dan kongkrit adalah lahirnya Agrarische Wet pada tahun 1870. Agrarische wet adalah hukum kolonial yang memberikan kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas semakin banyak tanah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Itu berarti semakin banyak yang terpaksa menjadi buruh tani, buruh industri atau bekerja di perkebunan-perkebunan besar milik kaum kapitalis tersebut.
Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum imperialis di Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM dan Shell mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Blitung, yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC. Tentu saja hal ini menambah jumlah buruh modern atau proletariat modern di Indonesia, yang selama ini tidak ada.
Sistem Tanam Paksa dan berikutnya ekspansi besar-besaran investor Eropa paska tanam paksa, telah menyeret rakyat ke jurang penderitaan yang sukar diterima akal sehat. Mereka dipaksa secara sistemis menjadi buruh-buruh perkebunan-pabrik gula, menjadi buruh-buruh di pertambangan-pertambangan dengan upah rendah, demikian pula sebagai buruh kereta api, kurang lebih sama penderitaannya. Kaum tani kehilangan tanah karena tidak sanggup menanggung beban pajak dan semakin lama terjerumus dalam lingkaran hutang pada bangsa Tionghoa, keadaan ini tidak pernah berkurang bahkan bertambah parah pada krisis ekonomi karena persaingan harga gula internasional tahun 1888. Hal yang sama terulang kembali paska perang dunia pertama, penderitaan rakyat tiada habis-habisnya.
Situasi ini kembali dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialisme secara langsung akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.
5. Rakyat Indonesia di bawah Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949– sekarang)
Revolusi Burjuis Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri. Hal ini ditandai dengan disepakatinya hasil KMB 1949 oleh Hatta-Syahrir.
Demikian pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme yang senantiasa bersekutu dengan kaum imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya. Akibat dari semua kegagalan ini adalah, tidak adanya perombakan hubungan produksi dan perkembangan tenaga produktif baru yang memajukan kesejahteraan hidup rakyat, terutama kaum buruh dan kaum tani.
Hal di atas disebabkan konsentrasi kepemilikan tanah hanya beralih dari pemerintah jajahan kepada pemerintah burjuasi komprador, yang pada hakekatnya juga untuk sepenuhnya melayani kepentingan modal kaum imperialis. Demikian pula penguasaan perkebunan dan pabrik-pabrik serta pertambangan justru dijamin kepemilikannya oleh pemerintah burjuasi agar tidak dilikuidasi oleh kaum buruh, buruh tani dan rakyat pada umumnya. Sehingga tidak terjadi perombakan dalam struktur kepemilikan dalam perusahaan tersebut.
Dari berbagai penelitian tentang sukubangsa di Indonesia dapat pula diketahui bahwa terdapat dua ras penting yang merupakan penduduk asli Indonesia yaitu dari ras Negrito (sekarang ada di Papua) dan Wedda. Mereka hidup dalam sistem komunal primitif, dimana tidak ada klas sosial sehinggga tidak ada suprastruktur kekuasaan milik klas yang berkuasa. Kehidupan mereka sangat bergantung pada alam dengan cara berburu dan meramu. Kedatangan ras ‘Mon Khmer’ dari Yunnan (Tiongkok Selatan) pada tahun 1500 SM menyebabkan terjadinya perang antara penduduk asli dan pendatang. Karena kemajuan peradaban dan persenjataan yang dimiliki ‘Mon Khmer’ maka penduduk asli Indonesia dapat dikalahkan. Penduduk asli yang kalah lantas dijadikan budak oleh ras pendatang. Peristiwa ini menandai dimulainya masa kepemilikan budak dalam sejarah Indonesia.
Cirinya ialah banyak terjadi perang antar kelompok (komunal) dalam satu wilayah untuk memperebutkan sumber makanan yang kian hari kian terbatas sehingga jumlah budak yang akibat kalah perang semakin bertambah. Selain itu, penegakan batas-batas kekuasaan atas tanah (monopoli) oleh tuan budak juga mulai ada. Hal ini juga menandakan bahwa masa feodal dimana terdapat penguasaan tanah oleh raja-2 mulai tumbuh.
2. Rakyat Indonesia pada masa setengah perbudakan menuju feodalisme (300–1602 M)
Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup (makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini menandai lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar, perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani tanpa dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja, raja yang menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Bagaimana dengan Feodalisme? Cikal-bakal feodalisme telah tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi perbudakan yang menindas mereka. Klas-klas sosial dalam masyarakat setengah perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah-tuan tanah lokal (raja-raja lokal) yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh kolonialisme.
3. Rakyat Indonesia pada masa feodalisme dan kolonialisme (1602 M – 1830 M)
Bangsa asing datang ke Indonesia dalam misi dagang secara langsung dimulai pada awal abad 17, terutama Belanda dan Portugis. Mereka secara sengaja mencari jalur perdagangan dan penghasil rempah-rempah yang banyak diperjual belikan di Eropa untuk kebutuhan menghadapi musim dingin. Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman berlayar dan mendarat di Banten, untuk memulai perdagangan secara langsung dengan bangsa Indonesia.
Pengusaha-pengusaha Belanda lantas membuat Kongsi Dagang pada tahun 1602 yang di kenal sebagai VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie). Tujuannya untuk menguasai monopoli peradagangan melalui pengkonsolidasian kekuasaan politik dan ekonomi lokal. Sudah barang tentu upaya-upaya tersebut mendapat tantangan yang keras dari rakyat Indonesia, salah satunya pada tahun 1621, munculnya tragedi van Bandanaira, meskipun bisa dihancurkan VOC selama 2 minggu.
VOC dengan dukungan penuh militer Republik Belanda Bersatu menguasai Banten kemudian memenangkan peperangan melawan Sultan Agung yang heroik pada tahun 1628-1629. Konsolidasi kekuasaan terus dilakukan oleh VOC seiring dengan pembangunan struktur kekuasaan lokal yang berasal dari bangsawan-bangsawan yang merupakan tuan tanah lokal. Mereka diharuskan untuk membayar upeti kepada VOC sama seperti ketika mereka membayar upeti kepada Sultan Agung, atau kepada raja lainnya di Nusantara.
Tahun 1799, VOC dinyatakan bubar karena mengalami kebangkrutan dan menanggung banyak beban hutang. Besarnya biaya perang yang harus dikeluarkan dan korupsi yang merajalela di dalamnya telah mempercepat kebangkrutannya. Akan tetapi mereka telah berhasil menancapkan kekuasaan di Indonesia dengan mengkonsolidasikan semua kekuasaan politik dan ekonomi di Batavia. Yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk oleh Majapahit dan Sultan Agung. Dengan demikian memaksa semua kekuasaan lokal tunduk pada Gubernur Jenderal VOC dan merombak birokrasi kerajaan sesuai dengan kebutuhan VOC serta memaksa mereka membayar upeti kepada VOC. Dan hal ini baru berhasil dilakukan VOC kurang lebih dalam waktu 200 tahun.
Kekuasaan kolonial ini diperkuat cengkeramannya oleh Gubernur Hindia Belanda paska VOC, terutama oleh Raffles (1811-1816) dan Daendels (1808-1811). Dua orang Gubernur Jenderal di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, yang sangat ambisius melaksanakan program modernisasi atas birokrasi tanah jajahan. Mereka menerapkan penarikan pajak seperti pada zaman Feodalisme Eropa, terutama pajak tanah dan hasil bumi. Sistem upeti yang selama ini berlaku di Indonesia diganti dengan Pajak Tanah (Land Rent) yang dibayar dengan penyerahan wajib (Verlichte leveraties) hasil panen; demikian pula dengan struktur pemerintahan kolonial juga dirubah sedemikian rupa hingga menjangkau desa, akan tetapi tetap menggunakan tenaga-tenaga bangsawan lokal (tuan-tuan tanah) dengan jabatan asisten Residen, wedana dan asisten wedana, hingga demang. Pada masa tersebut telah dilakukan pengenalan sistem sewa secara resmi atas tanah.
Penderitaan rakyat sangat parah dan menyedihkan. Mereka ditindas oleh dua kekuasaan sekaligus. Di satu sisi harus membayar pajak tanah kepada pemerintahan kolonial dan di sisi yang lain harus menyerahkan upeti dan penggunaan tenaga secara cuma-cuma bagi penghidupan para bangsawan lokal. Perang paling akhir dan paling lama yang mendatangkan kerugian terbesar sepanjang sejarah kekuasaan kolonial pada masa itu yang dilancarkan oleh Diponegoro (1825-1830), adalah salah satu jawaban rakyat atas penindasan ini. Perang Jawa atau perang Diponegoro disambut rakyat dan juga didukung oleh beberapa pimpinan Islam pedesaan. Rakyat mendukung perang ini karena penghisapan yang dilakukan oleh penguasa di mana kerajaan Mataram bekerjasama dengan Penjajah Belanda. Penindasan itu berupa beban pajak yang terlalu tinggi yang sebenarnya merupakan pajak tidak langsung dari kerajaan Mataram. Ditambah kebencian rakyat atas rumah-rumah bea-cukai yang oleh kerajaan disewakan kepada orang-orang Tionghoa, dimana mereka semaunya menaikkan tarikan bea-cukai. Akibat dari perang ini, telah menyebabkan kebangkrutan total keuangan negeri Belanda yang saat itu juga baru bebas dari kekuasaan Perancis. Kebangkrutan ekonomi inilah yang membuat kolonialisme Belanda menerapkan sistem jajahan yang sangat menindas dan menghisap rakyat Indonesia waktu itu yaitu Sistem Tanam Paksa (STP) atau cultuur stelsel.
Terkonsolidasikannya kekuasaan raja-raja lokal yang pada hakekatnya adalah tuan feodal besar oleh Belanda serta dikontrolnya secara ketat kekuasaan yang ada menunjukkan bahwa kekuasaan feodal mulai melapuk. Pun dengan diperkenalkannya sistem sewa-tanah sejak Rafless hingga tetap dipertahankan bahkan dijadikan dasar bagi STP, maka ini juga menjadi bukti bahwa mode produksi feodalisme sudah tidak lagi dalam bentuk murninya.
4. Rakyat Indonesia di bawah penindasan Kolonial dan Setengah-Feodal (1830 -1949)
Paska perang Diponegoro, kekuasaan kolonialisme Belanda tidak lagi tertandingi oleh kekuasaan feodal yang ada dan masih berupaya mempertahankan sekaligus memperbaharui syarat-syarat penindasannya. Terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa, seperti Bali, Lombok dan Tapanuli peperangan baru benar-benar berakhir pada awal abad 20. Secara ekonomi dan politik kekuasaan telah terkonsentrasi di Batavia. Akan tetapi para petinggi kolonial sadar betul bahwa pengaruh tuan tanah sangat kuat, hal ini bisa dilihat dari pertentangan bahkan perang yang harus mereka hadapi dan mahal harganya. Maka itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali melibatkan para tuan tanah lokal dalam struktur sekaligus di bawah kontrol penuh pemerintahan jajahan.
Hal inilah yang kemudian dipahami dan dilaksanakan dengan sangat baik oleh Van De Bosch dalam memulai Sistem Tanam Paksa. Yaitu, menggabungkan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa.
Akan tetapi yang harus diingat, bahwa Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia seperti perkembangan kapitalis industri yang sedang gencar di Eropa waktu itu. Mereka hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern dengan komoditi-komoditi yang dibawa dari berbagai belahan dunia seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Mereka hanya menyiapkan komoditi pertanian dan perkebunan untuk diperdagangkan di pasar dunia dan tidak untuk keperluan domestik. Demikian pula, mereka hanya menyiapkan beberapa bahan mentah seperti kapas yang sangat dibutuhkan untuk keperluan industri tekstil kapitalis yang saat itu sedang berkembang di negeri Belanda, mengikuti perkembangan industri kapitalis di Eropa lainnya. Singkatnya, Indonesia hanya menjadi pelayan kerakusan kapitalis dagang atas hasil-hasil perkebunan. Kemudian berkembang menjadi pelayan keserakahan akan bahan mentah dan tenaga kerja murah para kapitalis industri di Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk kebutuhan perputaran roda industri imperialis mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendirian NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pada tahun 1824, pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia.
Sistem Tanam Paksa dapat dilakukan secara efektif bila tidak didukung oleh kekuatan tuan tanah feodal STP yang dimotori oleh Van de Bosch, adalah sistem ekonomi jajahan yang sangat menindas apabila diperiksa hubungan produksi dengan tenaga produktifnya. Dimulai dengan program mobilisasi tanah untuk keperluan perkebunan dan penanaman komoditas baru yang sangat laku di pasar Eropa. Para petani harus menyerahkan 1/5 dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan. Mereka diberi konpensasi dibebaskan dari pajak tanah. Demikian pula berdasarkan peraturan yang resmi penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam).
Akan tetapi kenyataannya jauh lebih menindas daripada hukumnya sendiri yang mengesahkan penindasan tersebut. Tanah yang diserahkan oleh petani pada kenyataannya tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang seluruhnya; bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal diatas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Di Deli, pembangunan perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja untuk membuka hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau. Semula tenaga kerja didatangkan dari Tiongkok, akan tetapi pada tahun 1885 mereka mulai mendatangkan tenaga kerja dari Jawa, karena tenaga yang tidak mencukupi dan mahal. Perkebunan mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak. Mobilisasi tenaga kerja besar-besaran dengan cara paksa ini telah melahirkan golongan baru dalam masyarakat Indonesia yaitu klas buruh. Dari hari ke hari klas buruh bertambah jumlah dan kualitasnya seiring dengan semakin banyaknya petani kehilangan tanah, kerja paksa dan rendahnya pendapatan dari hasil pertanian. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal ini sebenarnya telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Proletarisasi juga ada kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah maupun dalam tansaksi jual beli.
Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang adalah ujung tombak pihak perkebunan dan pabrik gula dalam melakukan pemaksaan tanam dan kerja wajib. Mereka juga yang melakukan perampasan tanah-tanah rakyat untuk kebutuhan penanaman tebu dan pendirian pabrik gula. Sebagai birokrat jajahan mereka dibayar sangat mahal dengan menggunakan uang dan insentif yang jumlahnya mengalahkan gaji seorang menteri di Kerajaan Belanda. Sebagai gambaran, Residen memperoleh 15.000 gulden/tahun dengan tambahan persen 25.000 gulden/tahun. Para Bupati mendapat 15.000 dan Wedana 1500. Sedangkan gaji menteri di Belanda hanya 15.000 gulden/tahun. Sementara keuntungan yang diperoleh oleh STP yang langsung menjadi bagian Pemerintah Kerajaan Belanda 725 juta Gulden pada tahun 1870, merupakan seperlima hingga sepertiga pendapatan negara Belanda. Inilah sumber keuangan pokok yang digunakan untuk melunasi utang Kerajaan Belanda, menurunkan pajak di Belanda, subsidi pabrik tenun di Belanda, pembangunan perkeretaapian negara dan pembuatan bangunan pertahanan serta pembangunan pelabuhan Amsterdam dan aktifitas pelayaran lainnya.
Di lain sisi, dalam negeri terjadi kelaparan akibat gagal panen, tingginya pajak tanah dan harus dibayar dengan uang, rendahnya upah kerja di perkebunan dan pabrik gula, kerja wajib yang melampaui aturan, pemaksaan penyerahan tanah diluar seperlima, beban kerja yang terus bertambah selain mengolah tanah ditambah juga dengan menjadi buruh angkut dan tidak dibayar, dan penyakit menular membuat banyak sekali petani yang meninggal dunia mencapai 7% dari buruh tani setiap tahunnya. Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan diluar batas kemanusiaan ini dijawab oleh para petani, buruh tani, kaum herediensten dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah.
Antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak. Di Jawa huru hara praktis tidak pernah berhenti. Antara tahun 1840 hingga tahun 1875 hanya enam tahun tidak terjadi kerusuhan. Perlawanan kebanyakan dipimpin oleh elit agama atau bangsawan yang penuh dendam. Perlawanan ditujukan pada orang kulit putih, yang asing dan kafir dan juga terhadap penguasa pribumi. Pada tahun bulan Juli 1882, terjadi pemogokan besar-besaran oleh kaum buruh di tiga kabupaten, Sleman, Bantul, dan Kalasan. Pemogokan melanda 30 buah pabrik dan perkebunan yang meliputi enam pabrik gula, delapan perkebunan tebu.14 perkebunan nila dan dua perkebunan tembakau dengan melibatkan 10.000 orang pemogok yang berlansung selama tiga bulan. Dalam pemogokan ini solidaritas antara berbagai sektoral telah terjadi, kaum buruh yang bekerja di pabrik, kaum herendiensten dan kaum tani pada umumnya. Tuntutan dan penyebab pemogokan hampir sama dengan tempat-tempat yang lain. Yaitu, beratnya beban kerja, banyaknya pekerjaan yang tidak dibayar padahal di luar kerja wajib, upah rendah di pabrik dan upah tanam yang rendah.
Pada Bulan November 1885, pemberontakan serupa terjadi di Kawedanan Pulung, kabupaten Ponorogo, karesidenan Madiun. Beratnya tanggungan pajak yang harus dipikul petani dari seharusnya hanya 6,1% dari penghasilan pada kenyataannya ditarik sebesar 16,1%.
Di Banten pada tahun 1888, akibat beratnya beban pajak dan kerja rodi meledak sebuah pemberontakan. Pemberontakan ini ditujukan pada penguasa Belanda dan penguasa pribumi yang mendukung Belanda. Dalam huru hara tersebut delapan orang penguasa Belanda dan sembilan orang penguasa pribumi dibunuh. Sementara rakyat 30 orang mati, 200 lebih ditangkap, 11 diantaranya digantung di muka umum. Dan kurang lebih 90 orang dikenai kerja paksa bertahun-tahun, dan kurang lebih 90 orang dibuang. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi bersifat sangat lokalistik akan tetapi mengangkat isu yang hampir sama yaitu beratnya beban yang harus ditanggung oleh rakyat dalam STP.
Tidaklah benar tanam paksa diakhiri karena perdebatan parlemen antara kaum liberal dengan kalangan konservatif, melainkan karena perlawanan dan pemberontakan rakyat yang telah meledakkan sekaligus menghancurkan keuntungan yang sedang dibangun, karena penindasan dan penghisapan diluar batas. Para kaum liberal tidak pernah peduli akan nasib penduduk jajahan. Hal ini terbukti ketika mereka mulai masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah, karena semakin banyaknya para tuan tanah dan bangsawan pada umumnya yang direkrut menjadi bagian dari pemerintahan kolonial.
Artinya bahwa kaum liberal hanya memanfaatkan pemberontakan rakyat yang sedang massif dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan usaha di tanah jajahan kepada mereka. Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik “balas budi” pada prinsipnya adalah upaya untuk mengukuhkan kekuasaan politik mereka. Khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi, sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan.
Peralihan usaha-usaha dari STP ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM, harus diakui telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini terutama dengan masuknya investor-investor dari Eropa baik dari Belanda sendiri maupun dari Eropa lainnya, karena dukungan kebijakan dari pemerintahan kolonial. Dukungan yang paling nyata dan kongkrit adalah lahirnya Agrarische Wet pada tahun 1870. Agrarische wet adalah hukum kolonial yang memberikan kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas semakin banyak tanah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadi buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Itu berarti semakin banyak yang terpaksa menjadi buruh tani, buruh industri atau bekerja di perkebunan-perkebunan besar milik kaum kapitalis tersebut.
Sementara perkembangan lainnya adalah berdirinya beberapa bank di tanah jajahan yang dipelopori oleh perubahan status NHM yang dulunya adalah perusahaan monopoli dagang dan jasa pengangkutan barang dagangan menjadi bank yang mendukung perluasan pabrik gula dan perkebunan komoditi lainnya. Dukungan kapitalis finance ini telah mengakibatkan semakin luasnya ranah usaha kaum imperialis di Indonesia. Mereka mulai merambah pertambangan minyak, batu bara. Perusahaan pertambangan minyak seperti BPM dan Shell mulai melakukan eksplorasi demikian juga dengan pertambangan timah di Bangka-Blitung, yang sebenarnya sudah dimulai sejak VOC. Tentu saja hal ini menambah jumlah buruh modern atau proletariat modern di Indonesia, yang selama ini tidak ada.
Sistem Tanam Paksa dan berikutnya ekspansi besar-besaran investor Eropa paska tanam paksa, telah menyeret rakyat ke jurang penderitaan yang sukar diterima akal sehat. Mereka dipaksa secara sistemis menjadi buruh-buruh perkebunan-pabrik gula, menjadi buruh-buruh di pertambangan-pertambangan dengan upah rendah, demikian pula sebagai buruh kereta api, kurang lebih sama penderitaannya. Kaum tani kehilangan tanah karena tidak sanggup menanggung beban pajak dan semakin lama terjerumus dalam lingkaran hutang pada bangsa Tionghoa, keadaan ini tidak pernah berkurang bahkan bertambah parah pada krisis ekonomi karena persaingan harga gula internasional tahun 1888. Hal yang sama terulang kembali paska perang dunia pertama, penderitaan rakyat tiada habis-habisnya.
Situasi ini kembali dijawab dengan perlawanan yang tiada putus-putusnya oleh kaum buruh, kaum tani dan beberapa kalangan terpelajar yang mulai terbit kesadarannya akan nasib rakyat yang tertindas. Organisasi rakyat yang modern mulai bermunculan di mana-mana. Mereka mulai mengorganisir diri untuk melawan para imperialis asing maupun kalangan pribumi sendiri yang menjadi antek mereka dalam mengeruk keuntungan atau nilai lebih. Akan tetapi organisasi rakyat yang terbentuk tidak selalu melawan kaum imperialisme secara langsung akan tetapi terkadang mereka hadir hanya untuk menangani beberapa persoalan yang tengah dihadapi. Dalam perkembangannya, karena kesadaran anggota yang berada di tengah-tengah perderitaan rakyat yang terus bertambah dari hari ke hari pada akhirnya organisasi tersebut memilih jalan perjuangan melawan Imperialisme.
5. Rakyat Indonesia di bawah Penindasan Setengah Jajahan dan Setengah Feodal (1949– sekarang)
Revolusi Burjuis Agustus 1945 adalah puncak dari pergolakan yang membakar kesadaran massa rakyat sejak awal abad ke-17, dan pergolakan yang paling massif sejak awal abad 20. Rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajahan langsung atau menghancurkan pemerintahan jajahan yang ada di Indonesia. Akan tetapi gagal membebaskan diri sepenuhnya dari cengkeraman Imperialis, karena masih bercokolnya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik mereka di Indonesia, terutama melalui komprador-kompradornya di dalam negeri. Hal ini ditandai dengan disepakatinya hasil KMB 1949 oleh Hatta-Syahrir.
Demikian pula Revolusi Agustus 1945 gagal menghancurkan kekuatan feodalisme yang senantiasa bersekutu dengan kaum imperialis agar bisa mempertahankan syarat-syarat hidupnya. Akibat dari semua kegagalan ini adalah, tidak adanya perombakan hubungan produksi dan perkembangan tenaga produktif baru yang memajukan kesejahteraan hidup rakyat, terutama kaum buruh dan kaum tani.
Hal di atas disebabkan konsentrasi kepemilikan tanah hanya beralih dari pemerintah jajahan kepada pemerintah burjuasi komprador, yang pada hakekatnya juga untuk sepenuhnya melayani kepentingan modal kaum imperialis. Demikian pula penguasaan perkebunan dan pabrik-pabrik serta pertambangan justru dijamin kepemilikannya oleh pemerintah burjuasi agar tidak dilikuidasi oleh kaum buruh, buruh tani dan rakyat pada umumnya. Sehingga tidak terjadi perombakan dalam struktur kepemilikan dalam perusahaan tersebut.
D.
PRO-FEODALISME / SETUJU
Struktur
feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan
dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah
yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas
dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga
yang secara turun – temurun berkuasa karena atas dasar banyak pengikutnya
dan dipercaya oleh para pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu
hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani
dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga
raja. Dan para petani dan rakyat kecil hanya sebagai bagian dari stratifikasi
sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti
rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah
negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan
struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah.
Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan
pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat
semakin besar hasil produksinya maka kerajaan atau negara itu akan
semakin maju. Dan karena sistem feodal inilah rakyat Indonesia
mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
Itulah sedikit alasan saya tentang Feodalisme yang ada di
Indonesia yang saya kutip dari beberapa buku dan internet serta dari pemahaman
saya.
Feodalisme merupakan system social ciri khas dari abad pertengahan dari system itu melahirkan masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan oleh sang penguasa. Istilah feodalisme pertama kali dimunculkan di Perancis
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
#Ask
BalasHapusBagaimana cara mengatasi bahaya dari
feodalisme itu sendiri?