
LIBERALISME
PAPER
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pembimbing Bapak Dr.Suranto., M.Pd
Oleh
:
IFTITAH
DIAN HUMAIROH 120210302015
KELAS
B
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
A. Konsep Dasar
Liberalisme
Kata liberalisme berasal dari bahasa Latin liber
artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas
dari kepemilikan orang lain. Dan isme
yang berati paham. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat
terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old
Liberalism). Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang
sehingga mempunyai berbagai makna.
Bermula pada 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai
diberi maksud yang baik, yaitu bebas dari prasangka dan bersifat toleran. Maka
pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi
kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap
terbuka dan ramah.
Prinsip dasar liberalisme adalah
keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara
hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalismme juga membawa
dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah
mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan;
pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian
total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik,
lembaga legal dan lembaga sosial.
Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal
telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna sesuai untuk orang bebas,
besar, murah hati dalam seni liberal. Pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas
dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki
harta, atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu
malu.
Frederic Bastiat, Gustave de
Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah aliran ekstrem yang dikenal
dengan anarkhisme (tidak ada pemerintahan) ataupun minarkisme (pemerintahan
yang kecil yang hanya berfungsi sebagai the nightwatchman state. Liberalisme
selalu menentang sistem kenegaraan yang didasarkan pada hukum agama.
Liberalisme
lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis
berupa sistem merkantilisme, feodalisme, dan gereja roman Katolik. Liberalisme
pada umumnya meminimalkan campur tangan negara dalam kehidupan sosial. Sebagai
satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang
mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan juga dari golongan
Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan
membatasi kekuasaan raja.
ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :
- Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
- Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan kebebasan pers.
- Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
- Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
- Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.
B. Perkembangan
Liberalisme
Liberalisme
atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik
yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai
politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama
(Sukarna, 1981). Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam
sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada
kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal (liberalisme)
adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang
berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya
Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti
“bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan
konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20).
Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja
dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Menurut
Sukarna (1981) ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni
Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini,
adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
·
Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human
Being).
·
Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam
segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun
karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan
kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing.
Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang
mutlak dari demokrasi.
·
Treat the Others Reason Equally (Perlakuan yang sama)
·
Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana
setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam
setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik,
sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan
dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk
menghilangkan egoisme individu.
· Government by the Consent of The
People or The Governed (pemerintahan dengan persetujuan dari yang diperintah)
·
Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah.
Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus
bertindak menurut kehendak rakyat.
·
Berjalannya hukum (The Rule of Law).
·
Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat.
Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan
atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan
mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap
hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.
·
Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu (The
Emphasis of Individual)
·
Negara hanyalah alat (The State is Instrument).
·
Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk
tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran
Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat
memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja
ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
·
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme
(Refuse Dogatism).
·
Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke
(1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada
pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Sedangkan
menurut Ramlan Subakti (2010: 45) ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut. Pertama,
demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik. Kedua, anggota
masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara,
kebebasan beragamadan kebebasan pers. Ketiga, pemerintah hanya mengatur
kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk
rakyat, sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keempat,
kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh
karena itu pemerintah dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan
kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai cendarung
disalahgunakan, dan karena itu sejauh mungkin dibatasi. Kelima, suatu
masyarakat dikatakan berbahagia kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia,
kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.
Ada
dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern.
Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern
mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme
Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh
Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu
masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar, hanya
mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values)
tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi
sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir (Sukarna,
1981).
Dalam
Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan.
Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing yang akan
menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan
kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki
individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah
kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan (Sukarna, 1981). Jadi, tetap ada
keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang
sebebas-bebasnya.
Pemikiran
liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat
yang Kristen. Munculnya ideologi ini disebabkan karena ketatnya peraturan
sehingga membuat kekuasaan bersifat otoriter, tanpa memberikan kebebasan
berpikir kepada rakyatnya. Salah satu yang menganut ideologi liberalisme adalah
Amerika. Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada
hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk
kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena
dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham pada abad
akhir abad 17, berhubungan dengan runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya
zaman Renaissance, lalu diikuti dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis.
Pada
tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium
Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan
memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan (Idris, 1991:74). Menurut
Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan
dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi
milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.”
(Matius, 22:21).
Namun
kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin mengeluarkan
dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun
392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama
negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun
476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval
Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi
institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh
Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan
dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan,
khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan,
1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh
dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar,
seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa.
Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang
disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin
Luther (1546), Zwingly (1531), dan John Calvin (1564). Gerakan ini disertai
dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli
(1528) dan Michael Montaigne (1592), yang menentang dominasi Gereja,
menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan
(Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan
semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (1755), Voltaire (1778), dan
Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi
Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari
masyarakat, negara, dan politik.
Dimana hal tersebut berawal dari
kaum Borjuis, Prancis pada abad ke-18 sebagai reaksi protes terhadap
kepincangan yang telah berakar lama di Prancis. Sebagai akibat warisan sejarah
masa lampau, di Prancis terdapat pemisahan dan perbedaan yang tajam sekali
antara golongan I dan II yang memiliki berbagai hak tanpa kewajiban dan
golongan III yang tanpa hak dan penuh dengan kewajiban. Golongan Borjuis
mengajak seluruh rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang bertindak
sewenang-wenang dan kaum bangsawan dengan berbagai hak istimewanya guna
mendapatkan kebebasan berpolitik, berusaha, dan beragama. Gerakan ini diilhami
oleh pendapat Voltaire, Montesquieu, dan J.J. Rousseau. Gerakan liberalisme
akhirnya meningkat menjadi gerakan politik dengan meletusnya Revolusi Prancis.
C. Perkembangan
Liberalisme di Indonesia
Paham liberalisme
yang ada di kawasan Eropa sudah menyebar dan masuk ke kawasan Indonesia. Masuk
dan menyebarnya paham liberalisme di kawasan Indonesia ini, dibawa oleh bangsa
barat yang berdatangan ke Indonesia. Perlu diketahui, bahwa masuknya
paham liberalisme ke Indonesia seiring dengan kolonialisme yang dilakukan oleh
bangsa Belanda. Hal yang demikian sudah menjadi suatu hal yang biasa,
dikarenakan bangsa Belanda merupakan bangsa yang menganut paham liberal.
Menyebarnya paham Liberalisme yang dilakukan oleh bangsa Belanda seiring dengan
semangat bangsa Belanda, yaitu Gold, Glory dan Gospel
Masuknya paham Liberalisme di Indonesia, dimulai pada
zaman penjajahan Belanda. Tepatnya, saat Belanda mengeluarkan Undang Undamg
Agraria tahun 1870. Alasan Pemerintah Belanda mengeluarkan Undang Undang
Agraria tersebut ialah untuk mengakhiri kegiatan Tanam Paksa atau yang lebih
dikenal dengan namaCulturstelsel. Yang sebelumnya pelaksanaan Tanam
Paksa tersebut untuk mengisi ekonomi negara Belanda yang kosong serta telah
menyengsarakan rakyat Indonesia. Dari UU tersebut, maka kebebasan serta
keamanan para pengusaha pun semakin terjamin, dalam memperoleh tanah. Serta,
mengatur perpindahan perusahaan-perusahaan gula ke tangan swasta.
Kemungkinan pemerintah Belanda, terinspirasi dari
adanya revolusi Perancis tahun 1848, atau karena adanya kemenangan partai liberal
dalam parlemen Belanda yang mendesak pemerintah Belanda untuk menerapkan sistem
ekoomi liberal di negeri jajahannya terutama di Indonesia (Onifah,---: 1)..
Oleh karena itu ide ide liberalisme semakin meluas.
Jadi, bagi orang orang Indonesia, tanah sudah kembali
ke tangan mereka atau sudah menjadi hak milik mereka. Hal ini sesuai dengan
tujuan UU Agraria, yaitu untuk melindungi petani petani Indonesia terhadap
orang orang asing. Akan tetapi bagi para pengusaha asing diperbolehkan
menyewanya dari pemerintah sampai selama 75 tahun. Jadi sejak di keluarkannya
UU tersebut, maka industri industri perkebunan Eropa mulai masuk ke Indonesia.
Hal tersebut sama seperti yang dituliskan pada artikel
Sistem Ekonomi Liberal Pada Masa Kolonial, bahwa Liberalisme ini membawa ajaran
pada bidang ekonomi bahwa dikehendaki pelaksanaan usaha usaha Bebas dan
pembebasan kegiatan ekonomi dari campur tangan negara.
Menurut Rickles, dalam bukunya Sejarah Indonesia
Modern periode tahun 1870 – 1900 atau juga disebut dengan periode liberal
adalah jaman saat semakin hebatnya eksploitasi terhadap sumber sumber pertanian
Jawa maupun di luar Jawa. (1998: 190). Ternyata dibalik dari periode liberal
ini, bagi masyarakat penduduk pribumi Jawa merupakan suatu masa penderitaan
yang semakin berat. Karena menurut penduduk Jawa, sistem perekonomian liberal
ini hanya menguntungkan pihak swasta Belanda maupun para kolonial. Serta
membuat di negeri Belanda sendiri menjadi pusat perdagangan.
Walaupun dibalik itu semua, dengan dibebaskan
kehidupan ekonomi dari segala campur tangan pemerintah serta pengahpusan adanya
unsur paksaan dari kehidupan ekonomi, hal tersebut akan mendorong perkembangan
ekonomi Hindia Belanda (Onifah,---: 1).
Periode liberal ini, mengakibatkan penerobosan dalam
bidang ekonomi, perlahan lahan masuk ke masyarakat Indonesia. terutama di Jawa,
banyak penduduk pribumi Jawa yang mulai menawarkan tanah tanah mereka kepada
pihak swasta Belanda untuk dijadikan perkebunan perkebunan besar. Akan tetapi
perkebunan perkebunan milik pengusaha asing atau partikelir seperti teh, kopi,
kina, karet atau yang lainnya hanya berlangsung sampai tahun 1870 – 1885. Hal
ini dikarenakan, jatuhnya harga harga gula dan kopi di pasaran dunia. Akibat
dari hal tersebut, maka terjadi adanya reorganisasi pada kehidupan ekonomi
Hindia Belanda. Serta mayoritas perkebunan perkebunan besar menjadi milik
perseroan terbatas (Onifah,---: 3). Akhirnya sekitar pada abad 19, sistem
perekonomian yang pada mulanya dibentuk dari sistem liberalisme, maka
digantikan oleh sistem ekonomi terpimpin.
Selain paham tersebut dibuktikan dengan adanya Undang
Undang Agraria. Pemerintah Belanda juga memberi kebebasan dalam beragama.
Maksud dari kebebasan beragama ini adalah kebebasan masyarakat Indonesia untuk
memilih agama yang hendak dianutnya. Hal tersebut sudah dibuatkan dan
dimaksudkan dalam Undang Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang
menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak akan
memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama.
Masuknya paham liberalisme juga melalui bidang
pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui politik
etis. Akan tetapi,pada dasarnya politik etis yang dilaksaakan oleh kolonial
Belanda tersebut lebih condong menguntungkan para pemilik modal atau pengusaha
Belanda sendiri. Dikutip dari Marwati Djoened Poesponegoro (2008 :22) yang
berbunyi “Politik liberal mementingkan prinsip kebebasan terutama untuk
memeberi kesempatan bagi pengusaha memakai tanah rakyat dan segala peraturan
dibuat untuk melindungi para pengusaha Belanda sendiri, antara lain dalam soal
memiliki atau meyewa tanah , undang-undang perburuhan, dan undang-undang
pertambangan”. Pemerintah Belanda pada saat itu, mulai mendirikan Hoofdenscholen yang
didirikan pada tahun 1893. Mayoritas sekolah sekola yang didirikan lebih
bersifat kejuruan dengan mata pelajaran pada bidang hukum, tata buku,
pengukuran tanah dan lain lain.
Pada zaman Orde
Lama ini, sistem perekonomiannnya berlandaskan kekeluargaan atau koperasi.
Serta pada zaman itu pula, perekonomian Indonesia tidak mengizinkan adanya
sistem Liberalisme. Artinya ada kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga
memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah. Dengan adanya
sistem tersebut, maka dapat berakibat semakin luasnya jurang pemisah antara si
kaya dan si miskin.
Pada awal Orde
Baru, diwarnai dengan masa masa rehabilitasi, perbaikan, hampir di seluruh
sektor kehidupan, tidak terkecuali sektor ekonomi. Dalam perehabilitasi ini
terutama, membersihkan segala aspek kehidupan dari sisa sisa faham dan sistem
perekonomian yang lama yaitu liberal, kapitalis dan etatisme atau
komunis.Sangat terlihat bahwa pada masa ini pemerataan dan keadilan ekonomi
serta sosial menjadi dasar dan tujuan proses pembangunan nasional.Hingga menjelang
Repelita IV aspek pemerataan dan keadilan tetap diperhatikan.Karena liberalisme
cenderung mengarah pada kebebasan pasar ditakutkan akan menimbulkan pihak-pihak
yang menguasai pasar.
Karena paham liberal sudah dihilangkan pada awal orde
Lama dan Orde Baru, maka saat ini Indonesia cenderung kembali mengarah pada
liberalisme,hal ini terlihat dari sistem pasar bebas yang melanda
Indonesia,ditandai dengan banyaknya perusahaan asing yang masuk ke
Indonesia.Walaupun perkembangan selanjutnya juga memunculkan Neoliberalisme di
Indonesia.
D.
Alasan Kontra – Liberalisme
Ditinjau dari dampak negatif paham liberalisme pada masa penjajahan.
Akibat
Liberalisme Terhadap Kehidupan Rakyat Indonesia
·
Pelaksanaan politik liberal membawa akibat sebagai berikut:
·
Bagi Belanda
§ Memberikan keuntungan yang sangat
besar kepada kaum swasta Belanda dan pemerintah kolonial Belanda.
§ Hasil-hasil produksi perkebunan dan
pertambangan mangalir ke negeri Belanda.
§ Negeri Belanda manjadi pusat
perdagangan hasil dari tanah jajahan.
·
Bagi rakyat Indonesia
§ Kemerosotan tingkat kesejahteraan
penduduk. Pendapatan penduduk Jawa pada awal abad ke-20 setiap keluarga untuk
satu tahun sebesar 80 gulden. Dari jumlah tersebut masih dikurangi untuk
membayar pajak kepada pemerintah sebesar 16 gulden. Penduduk hidup dalam
kemiskinan.
§ Krisis perkebunan tahun 1885 akibat
jatuhnya harga kopi dan gula berakibat buruk bagi penduduk. Krisis ini juga
mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengadakan penghematan, misalnya dengan
jalan menekan uang sewa tanah dan upah kerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
§ Sistem perpajakan yang sangat
memberatkan penduduk.
§ Dalam mengurusi pemerintahan di
daerah luar Jawa selama abad ke 19, pemerintah Belanda mengerahkan beban dan
keuangannya dari daerah Jawa, sehingga tidak secara langsung Jawa harus
menanggung beban kekurangan untuk pembiayaan pemerintah Belanda terutama
dalam perang-perang kolonial untuk menguasai daerah tersebut.
§ Adanya pertambahan penduduk yang
meningkatnya dalam abad ke 19. Sementara itu jumlah produksi pertanian menurun.
§ Menurunnya usaha kerajinan rakyat
karena kalah bersaing dengan banyak barag-barang impor dari Eropa.
§ Pengangkutan dengan gerobak menjadi
merosot penghasilannya setelah adanya kereta api.
§ Rakyat menderita akibat
diterapkannya kerja rodi dan adanya hukuman berat (Poenale Sanctie).
DAFTAR PUSTAKA
http://ilmu-ngawortepak.blogspot.com/2013/03/perkembangan-liberalisme-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar